Kebun Binatang Surabaya (KBS) adalah salah satu kebun binatang yang populer di Indonesia dan terletak di Surabaya. KBS merupakan kebun binatang yang pernah terlengkap se-Asia Tenggara, di dalamnya terdapat lebih dari 351 spesies satwa yang berbeda yang terdiri lebih dari 2.806 binatang. Termasuk di dalamnya satwa langka Indonesia maupun dunia terdiri dari Mamalia, Aves, Reptilia, dan Pisces.
Sejarah
Kebun Binatang Surabaya (KBS) pertama kali didirikan berdasarkan SK Gubernur Jenderal Belanda tanggal 31 Agustus 1916 No. 40, dengan nama Soerabaiasche Planten-en Dierentuin (Kebun Botani dan Binatang Surabaya) atas jasa seorang jurnalis bernama H.F.K. Kommer yang memiliki hobi mengumpulkan binatang. Dari segi finansial H.F.K Kommer mendapat bantuan dari beberapa orang yang mempunyai modal cukup.
Susunan pengurus pertama Kebun Binatang Surabaya:
- Ketua: J.P Mooyman
- Sekretaris: A.H. de Wildt
- Bendahara: P Egos, dibantu 6 orang anggotanya yaitu:
- F.C. Frumau
- A. Lenshoek
- H.C. Liem
- J. Th. Lohmann
- Edw. H. Soesman
- M.C. Valk
Untuk pertama kalinya pada bulan April 1918, KBS dibuka namun dengan membayar tanda masuk (karcis). Kemudian akibat biaya operasional yang tinggi, maka pada tanggal 21 Juli 1922 kebun botani/KBS mengalami krisis dan akan dibubarkan, tetapi beberapa dari anggotanya tidak setuju. Pada tahun ini pula, dalam rapat pengurus diputuskan untuk membubarkan KBS, tetapi dicegah oleh pihak Kotamadya Surabaya pada waktu itu.
Pada tanggal 11 Mei 1923, rapat anggota di Simpang Restaurant memutuskan untuk mendirikan Perkumpulan Kebun Binatang yang baru, dan ditunjuk W.A. Hompes untuk menggantikan J.P. Mooyman, salah seorang pendiri KBS dan mengurus segala aktivitas kebun sebagai pimpinan. Bantuan yang besar untuk kelangsungan hidup pada waktu tahun 1927 adalah dari Wali kota Dijkerman dan anggota dewan A. van Gennep dapat membujuk DPR Kota Surabaya untuk meraih perhatian terhadap KBS, dengan SK DPR tanggal 3 Juli 1927 dibelilah tanah yang seluas 32.000 m3 sumbangan dari Maskapai Kereta Api (OJS). Tahun 1939 sampai sekarang luas KBS meningkat menjadi 15 hektare dan pada tahun 1940 selesailah pembuatan taman yang luasnya 85.000 m2.
Dalam perkembangannya KBS telah berubah fungsinya dari tahun ke tahun. Kebun Binatang Surabaya yang dahulu hanya sekadar untuk tempat penampungan satwa eksotis koleksi pribadi telah dikembangkan fungsinya menjadi sarana perlindungan dan pelestarian, pendidikan, penelitian, dan rekreasi. Binatang-binatang yang menjadi koleksi KBS dari tahun ke tahun jumlah dan jenisnya terus bertambah, baik berasal dari luar negeri maupun yang berasal dari dalam negeri.
Kebun Binatang Surabaya telah menerima keluhan tentang perlakuan terhadap hewan dari kelompok aktivis seperti Jakarta Animal Aid Network (JAAN), serta dari administrator interim kebun binatang. Situasi mencapai titik pada tahun 2010 di mana The Jakarta Post menyebut KBS sebagai 'Kebun Binatang Maut'. Pada bulan Agustus 2010, Kementerian Kehutanan mencabut izin Kebun Binatang Surabaya menyusul kematian beberapa hewan, termasuk seekor Harimau Sumatera yang langka, Singa Afrika, Walabi, Komodo, Anak Babirusa, Rusa Bawean dan Buaya. Manajemen Interim meminta polisi setempat dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BKSDA) untuk melakukan investigasi, yang menemukan bahwa penjaga lalai yang harus disalahkan atas sebagian besar kematian hewan.
Jam Operasional :
Jumat | 08.00–16.00 |
Sabtu | 07.30–16.30 |
Minggu | 07.30–16.30 |
Senin | 08.00–16.00 |
Selasa | 08.00–16.00 |
Rabu | 08.00–16.00 |
Kamis | 08.00–16.00 |
Alamat : Jalan Setail No. 1, Darmo, Wonokromo, Kota SBY, Jawa Timur 60241
2. Monumen Kapal Selam
Monumen Kapal Selam, atau disingkat Monkasel, adalah sebuah museum kapal selam yang terdapat di Embong Kaliasin, Genteng, Surabaya. Terletak di pusat kota, monumen ini sebenarnya merupakan kapal selam KRI Pasopati 410, salah satu armada Angkatan Laut Republik Indonesia buatan Uni Soviet tahun 1952. Kapal selam ini pernah dilibatkan dalam Pertempuran Laut Aru untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan Belanda.
Kapal Selam ini kemudian dibawa ke darat dan dijadikan monumen untuk memperingati keberanian pahlawan Indonesia. Monumen ini berada di Jalan Pemuda, tepat di sebelah Plasa Surabaya. Selain itu di tempat ini juga terdapat sebuah pemutaran film, di mana ditampilkan proses peperangan yang terjadi di Laut Aru. Jika ingin mengunjungi tempat wisata ini, maka akan ditemani oleh seorang pemandu lokal yang terdapat di sana
Ada cerita unik di balik hadirnya monumen Kapal Selam ini. Pada suatu malam Pak Drajat Budiyanto yang merupakan mantan KKM KRI Pasopati 410 (buatan Rusia) ini dan juga mantan KKM KRI Cakra 401 (buatan Jerman Barat), bermimpi diperintahkan oleh KSAL pada waktu itu untuk membawa kapal selam ini melayari Kali Mas. Ternyata mimpi itu menjadi kenyataan. Dia ditugaskan untuk memajang kapal selam di samping Surabaya Plaza. Caranya dengan memotong kapal selam ini menjadi beberapa bagian, kemudian diangkut ke darat, dan dirangkai dan disambung kembali menjadi kapal selam yang utuh.
Jam Operasional : Setiap hari 08.00 - 22.00
Alamat : Jalan Pemuda No.39, Embong Kaliasin, Genteng, Embong Kaliasin, Genteng, Kota SBY, Jawa Timur 60100
3. Kelenteng Sanggar Agung
Kelenteng Sanggar Agung atau Klenteng Hong San Tang adalah sebuah klenteng di Kota Surabaya. Kuil ini, selain menjadi tempat ibadah bagi pemeluk Tridharma, juga menjadi tempat tujuan wisata bagi para wisatawan. Klenteng ini dibuka pada tahun 1999.
Ciri khas dari klenteng ini adalah sebuah patung Kwan Im setinggi 20 meter yang terletak di tepi laut. Klenteng ini dipersembahkan kepada Nan Hai Guan Shi Yin Pu Sa atau Bodhisatwa Kwan Im Laut Selatan. Patung ini dibangun setelah seorang karyawan Sanggar Agung melihat sesosok wanita berjubah putih berjalan di atas air pada saat ia sedang menutup Klenteng di malam hari. Penampakan tersebut dipercaya sebagai penampakan Kwan Im sendiri. Ikon lain dari Sanggar Agung adalah patung Phra Phrom raksasa berlapis emas.
Keunikan dari lokasi Klenteng Sanggar Agung adalah klenteng ini dibangun di atas laut[3] sehingga berbentuk seperti teluk kecil yang menjorok ke laut serta dikelilingi pepohonan bakau.
Klenteng ini dibangun di atas area dengan luas sekitar 4000 meter
persegi dengan bangunan berciri Bali dan kombinasi budaya Jawa.[1]
Menurut Freddy H. Istanto, Dekan Fakultas Teknologi dan Design Universitas Ciputra, kompleks peribadatan di Sanggar Agung sangat menarik untuk dikaji karena design eksteriornya memiliki muatan multi kultur yang unik. Dari atapnya, Sanggar Agung menggunakan perpaduan gaya Jawa yang cukup kuat meskipun secara umum bangunannya bercorak Bali. Menurutnya, terdapat kesan desain Sanggar Agung sengaja membawa image rumah tradisional Indonesia agar tak terjebak pada gaya klenteng, vihara, atau kuil kebanyakan, apalagi terjebak pada arsitektur negara China. Namun demikian, tradisi kuil China masih tampak di Sanggar Agung, misalnya pada bulatan di pagar. Freddy H. Istanto menekankan bahwa Sanggar Agung boleh disebut sebagai "representasi harmoni kondisi psikologi dan budaya dari masyarakat setempat dengan umat Tri Dharma".[4]
Secara resmi, Sanggar Agung menyatakan bahwa tinggi patung Kwan Im di
sisi timur bangunan Klenteng adalah 18 meter. Patung tersebut dikawal
oleh dua penjaga Shan Nan dan Tong Nu serta 4 Maharaja Langit pelindung empat penjuru dunia. Gerbang langit di bawah kaki patung Kwan Im dijaga oleh sepasang Naga Surgawi.[1] Kebanyakan sumber mengklaim bahwa patung Dewi Kwan Im di Sanggar Agung memiliki tinggi sekitar 20 meter, sementara dua patung naga di bawahnya masing-masing sepanjang 6 meter.[3] Orang bisa melihat Jembatan Suramadu jika berdiri di bawah gerbang tersebut.
Patung Maha Brahma, She Mien Fo, atau Four Face Buddha berada di bagian belakang bangunan Klenteng Sanggar Agung (sisi yang menghadap ke jalan). Patung ini didaftarkan di MURI sebagai patung Four Face Buddha terbesar di Indonesia.
Pembangunan Stupa Maha Brahma dimulai pada Juli 2003 dan diresmikan pada tanggal 9 November 2004. Persemian tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk petinggi agama seperti Viriyanadi Mahatera, Phrarajkhru Sivacharaya dari Thailand, dan Gede Anom Jala Karana Manuaba.[4]
Luas lahan yang digunakan untuk pembangunan adalah sekitar 1,5 hektare. Bangunan inti berukuran 9×9 meter berada tepat di tengah lahan. Perhitungan pembangunan stupa ini banyak menggunakan angka sembilan karena disesuaikan dengan referensi patung serupa di Thailand. Selain itu, angka sembilan juga memiliki makna tersendiri. Stupa Maha Brahma dikelilingi taman bunga dan empat patung gajah putih dengan tinggi sekitar empat meter di setiap sudutnya.[4]
Stupa disokong oleh empat pilar berwarna hijau keemasan. Secara garis besar, stupa terdiri atas tiga bagian, yaitu stupa, patung Maha Brahma, dan singgasana. Bagian atas stupa memiliki ketinggian 18 meter. Sedangkan patung Maha Brahma dan singgasana masing-masing setinggi sembilan meter. Keseluruhan kulit patung dilapisi oleh kampoh ("kertas emas") 22 karat asli dari Thailand. Keseluruhan biaya pelapisan emas mencapai Rp 1,5 miliar. Monumen ini menjadi yang terbesar di Indonesia, meskipun patung Four-Faced Buddha di Thailand masih jadi yang terbesar di dunia.[4] Secara keseluruhan, tinggi Stupa Maha Brahma adalah 36 meter.
Klenteng ini juga mengikutsertakan umat beragama lain sebagai pekerja maupun pengurusnya, misalnya dari umat Islam dan Kristen.[2]
Selain menjadi tempat ibadah bagi umat Konghucu, kelenteng ini juga menarik para wisatawan untuk berfoto atau duduk di tepi pantai.[3] Pada tanggal 21 September 2010, Sanggar Agung mengadakan perayaan Bulan Purnama (Zhongqiu/ Tiong Chiu) dengan pengisi acara berasal dari berbagai grup kesenian di dalam dan luar daerah, seperti dari Minahasa, Bali, Solo, Ponorogo, dan lainnya. Festival juga dimeriahkan grup drum band dari sekolah Muhammadiyah dan AAL.[5]
Agar kedatangan wisatawan non-Konghucu tidak mengganggu aktivitas peribadatan, semenjak tahun 2015, jalan yang diperuntukkan bagi para wisatawan yang hendak ke halaman tepi pantai diarahkan tidak melewati bagian dalam kelenteng, melainkan melewati ruang pengelola kelenteng di sayap kiri bangunan.
Hutan bakau di sekitar Klenteng Sanggar Agung menjadi habitat alamiah bagi berbagai jenis hewan, seperti burung bangau, kepiting, burung gereja, dan ikan gelodok. Oleh sebab itu, Klenteng ini biasanya menjadi tempat rujukan bagi umat Buddhis dan Tridharma yang melakukan ritual fangshen atau "melepas kembali hewan ke alam liar".
Pada tahun 2007, PT Bintang Toedjoe menyelenggarakan konvoi sebanyak 108 kepala barongsai yang dimulai dari Kya Kya Surabaya dan berakhir di Sanggar Agung, Kenjeran. Rekor tersebut tercatat sebagai Konvoi Kepala Barongsai Terbanyak oleh MURI dan dicatat oleh PT. Jawa Pos Media Televisi.[6]
Alamat : Jalan Sukolilo No 100, Pantai Ria Kenjeran, Surabaya.
4. Kya - Kya
Kya-Kya Surabaya adalah tempat yang dulunya ramai sebagai pasar malam di kawasan pecinan kota Surabaya. Di sepanjang jalan Kembang Jepun didirikan kios-kios yang menjual berbagai macam makanan baik masakan Tionghoa, makanan khas Surabaya maupun makanan lainnya. Kata kya-kya diambil dari salah satu dialek bahasa Tionghoa yang berarti jalan-jalan.
Kembang Jepun mempunyai sejarah panjang, sepanjang perjalanan Kota Surabaya. Perjalanannya penuh dengan rona-rona, sesuai warna yang dilukiskan zamannya. Sejak zaman Sriwijaya, kawasan di sekitar Kembang Jepun menjadi tempat bermacam bangsa tinggal.
Banyak pedagang asing yang menambatkan kapal-kapalnya di lokasi dimana kemudian menjadi Kota Surabaya. Di situ pulalah, perjalanan sejarah menorehkan garis membujur dari timur ke barat kota, Jalan Kembang Jepun. Tegak lurus dengan Kalimas, jalan ini juga menjadi ikon Kota Surabaya yang silih berganti tampil membawa perannya.
Pada zaman Belanda, pemerintahan saat itu membagi kawasan menjadi Pecinan di selatan Kalimas, kampung Arab dan Melayu di Utara kawasan itu, dengan Jalan Kembang Jepun sebagai pembatasnya. Bangsa Belanda sendiri tinggal di Barat Kalimas yang kemudian mendirikan komunitas "Eropa Kecil".
Jalan Kembang Jepun dulunya dinamakan Handelstraat (handel berarti perdagangan, straat artinya jalan), yang kemudian tumbuh sangat dinamis. Pada zaman pendudukan Jepang lah nama Kembang Jepun menjadi terkenal, ketika banyak serdadu Jepang (Jepun) memiliki teman-teman wanita (kembang) di sekitar daerah ini. Pada era dimana banyak pedagang Tionghoa menjadi bagian dari napas dinamika Kembang Jepun, sebuah Gerbang kawasan yang bernuansa arsitektur Tionghoa pernah dibangun di sini. Banyak fasilitas hiburan didirikan, bahkan ada yang masih bertahan hingga kini, seperti Restoran Kiet Wan Kie.
Melihat banyaknya ikon kota yang pelan-pelan meredup mati dan ditinggalkan warganya, muncullah ide untuk segera menyelamatkannya. Studi dan perencanaan awal hanya dilakukan 2 minggu, namun tidak mengurangi kualitas perancangan itu sendiri dengan melakukan studi lapangan dan studi literatur, diskusi dengan pemerintah kota, warga setempat, komunitas pedagang kaki lima bahkan studi banding ke luar negeri (Chinatown di Singapura). Studi-studi dan pelaksanaan dilakukan bersama-sama dengan tim eksklusif di bawah pimpinan Wali Kota Surabaya Bambang D. Hartono, demikian juga dengan pihak DPRD Surabaya di bawah pimpinan Armuji, dan PT Kya-Kya Kembang Jepun di bawah pimpinan Dahlan Iskan.
Pusat Kya-kya ini akhirnya dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200 pedagang (makanan dan nonmakanan), 2.000 kursi, 500 meja makan dengan memperhatikan studi keamanan. Selain itu, studi perilaku warga Kota Surabaya, studi parkir dan transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis, teknis, sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM setempat, kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah), dan sebagainya secara terpadu.
Kya-Kya Surabaya akhirnya berhasil diwujudkan. Secara resmi Kya-Kya Surabaya dibuka pertama kali pada tanggal 31 Mei 2003, bertepatan dengan hari ulang tahun kota Surabaya.
Lokasi Kya-kya Kembang Jepun tidak ada duanya ketika kawasan ini sarat dengan malam budaya, maka tatkala arsiteknya pun membawa the spirit of place, suguhan arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Pementasan budaya yang berkualitas pun disuguhkan seperti festival ngamen, suguhan musik keroncong, musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Sedangkan, acara-acara tematik digelar seperti Shanghai Night, Dancing on the Street, Agoestoesan Tjap Kya-kya Kembang Djepoen serta Mystical Night, Festival Bulan Purnama dan sebagainya.
Alamat : Jl. Kembang Jepun, Bongkaran, Pabean Cantian, Kota SBY, Jawa Timur 60161
5. Jembatan Merah
Jembatan Merah merupakan salah satu monumen sejarah di Surabaya, Jawa Timur yang dibiarkan seperti adanya: sebagai jembatan. Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan Gesang ini, semasa zaman VOC dahulu dinilai penting karena menjadi sarana perhubungan paling vital melewati Kalimas menuju Gedung Karesidenan Surabaya, yang sudah tidak berbekas lagi.
Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari Perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda. Kini, posisinya sebagai pusat perniagaan terus berlangsung. Di sekitar jembatan terdapat indikator-indikator ekonomi, termasuk salah satunya Plaza Jembatan Merah.
Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya itu, hampir sama persis dengan jembatan lainnya. Pembedanya hanyalah warna merah.
Kapal Selam ini kemudian dibawa ke darat dan dijadikan monumen untuk memperingati keberanian pahlawan Indonesia. Monumen ini berada di Jalan Pemuda, tepat di sebelah Plasa Surabaya. Selain itu di tempat ini juga terdapat sebuah pemutaran film, di mana ditampilkan proses peperangan yang terjadi di Laut Aru. Jika ingin mengunjungi tempat wisata ini, maka akan ditemani oleh seorang pemandu lokal yang terdapat di sana
Ada cerita unik di balik hadirnya monumen Kapal Selam ini. Pada suatu malam Pak Drajat Budiyanto yang merupakan mantan KKM KRI Pasopati 410 (buatan Rusia) ini dan juga mantan KKM KRI Cakra 401 (buatan Jerman Barat), bermimpi diperintahkan oleh KSAL pada waktu itu untuk membawa kapal selam ini melayari Kali Mas. Ternyata mimpi itu menjadi kenyataan. Dia ditugaskan untuk memajang kapal selam di samping Surabaya Plaza. Caranya dengan memotong kapal selam ini menjadi beberapa bagian, kemudian diangkut ke darat, dan dirangkai dan disambung kembali menjadi kapal selam yang utuh.
Jam Operasional : Setiap hari 08.00 - 22.00
Alamat : Jalan Pemuda No.39, Embong Kaliasin, Genteng, Embong Kaliasin, Genteng, Kota SBY, Jawa Timur 60100
3. Kelenteng Sanggar Agung
Kelenteng Sanggar Agung atau Klenteng Hong San Tang adalah sebuah klenteng di Kota Surabaya. Kuil ini, selain menjadi tempat ibadah bagi pemeluk Tridharma, juga menjadi tempat tujuan wisata bagi para wisatawan. Klenteng ini dibuka pada tahun 1999.
Ciri khas dari klenteng ini adalah sebuah patung Kwan Im setinggi 20 meter yang terletak di tepi laut. Klenteng ini dipersembahkan kepada Nan Hai Guan Shi Yin Pu Sa atau Bodhisatwa Kwan Im Laut Selatan. Patung ini dibangun setelah seorang karyawan Sanggar Agung melihat sesosok wanita berjubah putih berjalan di atas air pada saat ia sedang menutup Klenteng di malam hari. Penampakan tersebut dipercaya sebagai penampakan Kwan Im sendiri. Ikon lain dari Sanggar Agung adalah patung Phra Phrom raksasa berlapis emas.
Kwan Kong Bio
Pada Festival Bulan Purnama pada tahun 1978, tanggal 15 bulan 8 Imlek, sebuah klenteng dibangun sekitar 500 meter di sebelah selatan lokasi Sanggar Agung yang sekarang, yaitu Klenteng Kwan Kong Bio. Lokasi klenteng ini dipindahkan sebanyak tiga kali sampai akhirnya Sanggar Agung dibangun.[1] Pada tahun 1999, klenteng tersebut secara resmi dipindahkan ke lokasi yang sekarang yaitu Klenteng Sanggar Agung. Beberapa patung dewa di Sanggar Agung sudah diletakkan di dalam bangunan klenteng yang lebih lama semenjak puluhan tahun.[2]Pembangunan Sanggar Agung
Klenteng Sanggar Agung didirikan oleh keluarga Soetiadji Yudho dan diresmikan pada tahun 1999, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek. Ia bermaksud membawa semangat spiritual umat Tridharma sekaligus harapan menampilkan sebuah ikon bagi Kota Surabaya. Patung raksasa Kwan Im dibangun dua tahun kemudian.[3][4]Lokasi dan arsitektur
Menurut Freddy H. Istanto, Dekan Fakultas Teknologi dan Design Universitas Ciputra, kompleks peribadatan di Sanggar Agung sangat menarik untuk dikaji karena design eksteriornya memiliki muatan multi kultur yang unik. Dari atapnya, Sanggar Agung menggunakan perpaduan gaya Jawa yang cukup kuat meskipun secara umum bangunannya bercorak Bali. Menurutnya, terdapat kesan desain Sanggar Agung sengaja membawa image rumah tradisional Indonesia agar tak terjebak pada gaya klenteng, vihara, atau kuil kebanyakan, apalagi terjebak pada arsitektur negara China. Namun demikian, tradisi kuil China masih tampak di Sanggar Agung, misalnya pada bulatan di pagar. Freddy H. Istanto menekankan bahwa Sanggar Agung boleh disebut sebagai "representasi harmoni kondisi psikologi dan budaya dari masyarakat setempat dengan umat Tri Dharma".[4]
Patung raksasa Kwan Im
Stupa Maha Brahma
Pembangunan Stupa Maha Brahma dimulai pada Juli 2003 dan diresmikan pada tanggal 9 November 2004. Persemian tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk petinggi agama seperti Viriyanadi Mahatera, Phrarajkhru Sivacharaya dari Thailand, dan Gede Anom Jala Karana Manuaba.[4]
Luas lahan yang digunakan untuk pembangunan adalah sekitar 1,5 hektare. Bangunan inti berukuran 9×9 meter berada tepat di tengah lahan. Perhitungan pembangunan stupa ini banyak menggunakan angka sembilan karena disesuaikan dengan referensi patung serupa di Thailand. Selain itu, angka sembilan juga memiliki makna tersendiri. Stupa Maha Brahma dikelilingi taman bunga dan empat patung gajah putih dengan tinggi sekitar empat meter di setiap sudutnya.[4]
Stupa disokong oleh empat pilar berwarna hijau keemasan. Secara garis besar, stupa terdiri atas tiga bagian, yaitu stupa, patung Maha Brahma, dan singgasana. Bagian atas stupa memiliki ketinggian 18 meter. Sedangkan patung Maha Brahma dan singgasana masing-masing setinggi sembilan meter. Keseluruhan kulit patung dilapisi oleh kampoh ("kertas emas") 22 karat asli dari Thailand. Keseluruhan biaya pelapisan emas mencapai Rp 1,5 miliar. Monumen ini menjadi yang terbesar di Indonesia, meskipun patung Four-Faced Buddha di Thailand masih jadi yang terbesar di dunia.[4] Secara keseluruhan, tinggi Stupa Maha Brahma adalah 36 meter.
Fungsi Sosial
Tempat ibadah
Klenteng Sanggar Agung merupakan tempat ibadah bagi umat Tridharma, yaitu dari agama Konghucu, agama Buddha, dan Taoisme.[2] Karena berlokasi di tepi laut, Klenteng Sanggar Agung sering menjadi tempat rujukan bagi keluarga yang hendak nyekar leluhur mereka, terutama yang dikremasi.Klenteng ini juga mengikutsertakan umat beragama lain sebagai pekerja maupun pengurusnya, misalnya dari umat Islam dan Kristen.[2]
Kawasan pariwisata
Agar kedatangan wisatawan non-Konghucu tidak mengganggu aktivitas peribadatan, semenjak tahun 2015, jalan yang diperuntukkan bagi para wisatawan yang hendak ke halaman tepi pantai diarahkan tidak melewati bagian dalam kelenteng, melainkan melewati ruang pengelola kelenteng di sayap kiri bangunan.
Kawasan suaka alam
Rekor MURI
Museum Record Indonesia (MURI) beberapa kali memberi penghargaan pada aktifitas yang dilakukan di Sanggar Agung. Pada bulan September 2002, penghargaan diberikan pada Soetiadji Yudho karena memprakarsai pemasangan 2000 lampion. Pada 9 November 2004, Sanggar Agung mendapat penghargaan MURI karena memprakarsai pembuatan patung Maha Brahma Empat Muka tertinggi dan terbesar di Indonesia.[4]Pada tahun 2007, PT Bintang Toedjoe menyelenggarakan konvoi sebanyak 108 kepala barongsai yang dimulai dari Kya Kya Surabaya dan berakhir di Sanggar Agung, Kenjeran. Rekor tersebut tercatat sebagai Konvoi Kepala Barongsai Terbanyak oleh MURI dan dicatat oleh PT. Jawa Pos Media Televisi.[6]
Daftar altar
Altar dalam klenteng
Urutan altar berdasarkan penomoran urutan bersembahyang, dimulai dari sisi depan klenteng yang menghadap ke laut.- 0. Dewa Naga (bukan termasuk altar resmi, tetapi digunakan umat sebagai altar)
- Tian
- Para Buddha, Bodhisatwa (Nan Hai Guan Shi Yin Pu Sa, Ti Cang Wang Pu Sa, Maitreya), dan 18 Arhat
- Siddharta Gautama
- Tai Shang Lao Jun
- Tian Shang Sheng Mu
- Xuan Tian Shang Di
- Guan Sheng Di Jun
- Fu De Zheng Shen
- Cai Shen Ye & Ba Xian
- Nabi Khongcu
Altar di lokasi Maha Brahma
Alamat : Jalan Sukolilo No 100, Pantai Ria Kenjeran, Surabaya.
4. Kya - Kya
Kya-Kya Surabaya adalah tempat yang dulunya ramai sebagai pasar malam di kawasan pecinan kota Surabaya. Di sepanjang jalan Kembang Jepun didirikan kios-kios yang menjual berbagai macam makanan baik masakan Tionghoa, makanan khas Surabaya maupun makanan lainnya. Kata kya-kya diambil dari salah satu dialek bahasa Tionghoa yang berarti jalan-jalan.
Sejarah Kembang Jepun
Kembang Jepun dulunya adalah kawasan bisnis utama dan pusat kota Surabaya. Walaupun bukan menjadi yang utama, kawasan ini tetap menjadi salah satu sentra bisnis hingga saat ini. Kawasan ini terkenal sebagai pusat perdagangan grosir, yang kemudian dikenal sebagai CBD (central business district) I Kota Surabaya.Kembang Jepun mempunyai sejarah panjang, sepanjang perjalanan Kota Surabaya. Perjalanannya penuh dengan rona-rona, sesuai warna yang dilukiskan zamannya. Sejak zaman Sriwijaya, kawasan di sekitar Kembang Jepun menjadi tempat bermacam bangsa tinggal.
Banyak pedagang asing yang menambatkan kapal-kapalnya di lokasi dimana kemudian menjadi Kota Surabaya. Di situ pulalah, perjalanan sejarah menorehkan garis membujur dari timur ke barat kota, Jalan Kembang Jepun. Tegak lurus dengan Kalimas, jalan ini juga menjadi ikon Kota Surabaya yang silih berganti tampil membawa perannya.
Pada zaman Belanda, pemerintahan saat itu membagi kawasan menjadi Pecinan di selatan Kalimas, kampung Arab dan Melayu di Utara kawasan itu, dengan Jalan Kembang Jepun sebagai pembatasnya. Bangsa Belanda sendiri tinggal di Barat Kalimas yang kemudian mendirikan komunitas "Eropa Kecil".
Jalan Kembang Jepun dulunya dinamakan Handelstraat (handel berarti perdagangan, straat artinya jalan), yang kemudian tumbuh sangat dinamis. Pada zaman pendudukan Jepang lah nama Kembang Jepun menjadi terkenal, ketika banyak serdadu Jepang (Jepun) memiliki teman-teman wanita (kembang) di sekitar daerah ini. Pada era dimana banyak pedagang Tionghoa menjadi bagian dari napas dinamika Kembang Jepun, sebuah Gerbang kawasan yang bernuansa arsitektur Tionghoa pernah dibangun di sini. Banyak fasilitas hiburan didirikan, bahkan ada yang masih bertahan hingga kini, seperti Restoran Kiet Wan Kie.
Lahirnya Kya-Kya
Pemerintah Kota Surabaya pernah berkeinginan untuk menjadikan kawasan Kembang Jepun menjadi semacam Malioboro tidak mendapat respons yang baik dari para pedagang kaki lima (PKL), bahkan oleh masyarakat Kota Surabaya sendiri. Akhirnya, kawasan ini mati kembali di malam hari, gelap gulita dan rawan kejahatan. Berbeda dengan keadaan siang hari yang sangat dinamis.Melihat banyaknya ikon kota yang pelan-pelan meredup mati dan ditinggalkan warganya, muncullah ide untuk segera menyelamatkannya. Studi dan perencanaan awal hanya dilakukan 2 minggu, namun tidak mengurangi kualitas perancangan itu sendiri dengan melakukan studi lapangan dan studi literatur, diskusi dengan pemerintah kota, warga setempat, komunitas pedagang kaki lima bahkan studi banding ke luar negeri (Chinatown di Singapura). Studi-studi dan pelaksanaan dilakukan bersama-sama dengan tim eksklusif di bawah pimpinan Wali Kota Surabaya Bambang D. Hartono, demikian juga dengan pihak DPRD Surabaya di bawah pimpinan Armuji, dan PT Kya-Kya Kembang Jepun di bawah pimpinan Dahlan Iskan.
Pusat Kya-kya ini akhirnya dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200 pedagang (makanan dan nonmakanan), 2.000 kursi, 500 meja makan dengan memperhatikan studi keamanan. Selain itu, studi perilaku warga Kota Surabaya, studi parkir dan transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis, teknis, sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM setempat, kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah), dan sebagainya secara terpadu.
Kya-Kya Surabaya akhirnya berhasil diwujudkan. Secara resmi Kya-Kya Surabaya dibuka pertama kali pada tanggal 31 Mei 2003, bertepatan dengan hari ulang tahun kota Surabaya.
Lokasi Kya-kya Kembang Jepun tidak ada duanya ketika kawasan ini sarat dengan malam budaya, maka tatkala arsiteknya pun membawa the spirit of place, suguhan arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Pementasan budaya yang berkualitas pun disuguhkan seperti festival ngamen, suguhan musik keroncong, musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Sedangkan, acara-acara tematik digelar seperti Shanghai Night, Dancing on the Street, Agoestoesan Tjap Kya-kya Kembang Djepoen serta Mystical Night, Festival Bulan Purnama dan sebagainya.
Alamat : Jl. Kembang Jepun, Bongkaran, Pabean Cantian, Kota SBY, Jawa Timur 60161
5. Jembatan Merah
Jembatan Merah merupakan salah satu monumen sejarah di Surabaya, Jawa Timur yang dibiarkan seperti adanya: sebagai jembatan. Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan Gesang ini, semasa zaman VOC dahulu dinilai penting karena menjadi sarana perhubungan paling vital melewati Kalimas menuju Gedung Karesidenan Surabaya, yang sudah tidak berbekas lagi.
Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari Perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda. Kini, posisinya sebagai pusat perniagaan terus berlangsung. Di sekitar jembatan terdapat indikator-indikator ekonomi, termasuk salah satunya Plaza Jembatan Merah.
Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya itu, hampir sama persis dengan jembatan lainnya. Pembedanya hanyalah warna merah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar